FOTO TRAGEDI BINTARO 1987
|
Dari berbagai sumber berita di
televisi maupun sosial media yang saya lihat, saat ini saya tertarik ingin
membahas masalah tragedi Bintaro pada tahun 1987. Berikut berita yang saya ketahui :
Detik-detik Kecelakaan
Kecelakaan ini berawal saat KA
225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio, asistennya
Soleh dan seorang kondektur Adung
Syafei, berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara. KA 225 tersebut bersilang dengan KA 220 Patas
jurusan Tanah Abang – Merak yang dimasinisi Amung Sunary dengan asistennya Mujiono. Saat bersilang dan tanpa berkomunikasi dengan
Stasiun Sudimara, petugas Stasiun Serpong justru memberikan sinyal aman bagi
kereta api yang dimasinisi Slamet untuk jalan. Padahal, tidak ada pernyataan aman dari
Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan
karena penuhnya jalur di Stasiun Sudimara.
Slamet pun melajukan keretanya dari Serpong dan tiba di Stasiun Sudimara
pada pukul 06.45 Wib. Namun, ternyata memang penuh dengan KA. Maka, Kepala Stasiun Sudimara pun lantas
melansir perintah kepada Slamet masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu), dengan posisi
di Stasiun Sudimara. Kemudian untuk memberi
peringatan kepada Masinis dan penumpang, Juru Langsir mengibarkan Bendera Merah
menuju Lokomotif KA 225 dan meniup peluit Semboyan 46 tanpa membatalkan
perintah persilangan yang terlanjur diberikan kepada Masinis KA 225. Masinis KA
225 mendengar Semboyan 46 Juru Langsir tersebut, tetapi ia tak dapat memastikan
apakah telah ditunjukkan Semboyan 40 atau tidak (karena kondisi Lokomotif yang
penuh sesak). Kemudian ia menanyakan kepada penumpang yang berdiri di luar
Lokomotif, dan dijawab "telah waktunya untuk berangkat". Masinis pun
membunyikan Semboyan 41, disusul Semboyan 35. Ia tidak menyadari bahwa belum diberikan
Semboyan 40 oleh PPKA St. Sudimara. Dan celakanya, ia mengira itu adalah
semboyan yang telah diberikan PPKA untuk
memberangkatkan KA (berdasar jawaban penumpang), padahal itu adalah semboyan 46
untuk melangsir KA. Sang masinis pun membunyikan Semboyan 35 dan berjalan. Juru lansir yang kaget kemudian mengejar
kereta itu dan naik di gerbong paling belakang. Para petugas stasiun kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu
menggunakan sepeda motor. PPKA Sudimara, Djamhari, mencoba memberhentikan kereta dengan
menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan
mengibarkan bendera merah. Namun
sia-sia. Djamhari pun kembali ke stasiun
dengan sedih, dia membunyikan semboyan
genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap
melaju. Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak
hafal semboyan genta. KA 225 berjalan
dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220
berjalan dengan kecepatan 30km/jam. Dua
kereta api yang sama-sama sarat penumpang itu akhirnya bertabrakan di tikungan
S ± Km 18.75. Kedua kereta hancur,
terguling dan ringsek. Kedua lokomotif
dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat.
Korban Berjatuhan
Benturan dua kereta itu terlihat
dahsyat hingga gerbong pertama persis di belakang lokomotif di kedua kereta
langsung menyelimuti masing-masing lokomotifnya. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif, yaitu tipe 303 dengan seri BB
303-17 dan tipe 306 dengan seri BB 306-17 rusak berat. Jumlah korban jiwa 153 orang, dan ratusan
penumpang lainnya luka-luka. Karena itu
tidak heran bahwa semua korban tewas berada di gerbong pertama dan di
lokomotif. Sesaat setelah tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan serta bau
darah dari dalam rongsokan kereta.
Hukuman sang masinis
Akibat tragedi tersebut, masinis
KA 225, Slamet Suradio, diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan
pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di
Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA. Nasib yang sama juga harus
dialami Adung Syafei, Kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2
tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA,
Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Peristiwa Bintaro 1987 memang
sangat memilukan. Tak heran bila kemudian musisi kenamaan Indonesia, Iwan Fals,
membuat sebuah lagu untuk mengenang peristiwa tersebut. Selain itu, peristiwa ini juga sempat
diangkat ke layar lebar pada tahun 1989 dengan Judul “Tragedi Bintaro”. Film
ini disutradarai oleh Butje Malawau dan dibintangi oleh Lia Chaidir dan
kawan-kawan serta termasuk film tersukses pada tahun tersebut.
Semboyan Kereta Api
Semboyan 35 adalah
semboyan suara yang dilakukan dengan cara masinis membunyikan suling
(terompet/klakson) lokomotif secara panjang untuk menjawab kepada kondektur
kereta api dan PPKA bahwa kereta api sudah siap untuk diberangkatkan. Kadang
juga dibunyikan pada waktu melintas di perlintasan jalan raya atau pada
tempat-tempat tertentu untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat agar
menyingkir dari rel kereta api.
Semboyan 40 adalah
semboyan yang dilakukan dengan cara PPKA mengangkat tongkat dengan rambu
berwarna hijau berbentuk bundar dengan tepi berwarna putih. Semboyan 40
mengisyaratkan bahwa status jalur yang akan dilewati dalam keadaan aman, dan
kereta api diizinkan untuk berjalan. Semboyan 40 biasanya disertai dengan
semboyan 41 dan disahut dengan semboyan 35 oleh masinis.
Semboyan 41 adalah
semboyan yang dilakukan dengan cara kondektur kereta api membunyikan peluit
panjang/suling mulut. Semboyan 41 mengisyaratkan bahwa kereta api diizinkan
untuk diberangkatkan. Semboyan 41 biasanya disertai dengan semboyan 35 oleh
masinis.
Semboyan 46 adalah Ketika
Juru Langsir meniup peluit dan mengibaskan Bendera Merah, sebagai tanda kepada
masinis dan penumpang bahwa KA akan segera dilangsir.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar