Layout

Kamis, 12 Desember 2013

Tragedi Bintaro 1987

      FOTO TRAGEDI BINTARO 1987
Dari berbagai sumber berita di televisi maupun sosial media yang saya lihat, saat ini saya tertarik ingin membahas masalah tragedi Bintaro pada tahun 1987.  Berikut berita yang saya ketahui :

Detik-detik Kecelakaan

Kecelakaan ini berawal saat KA 225 Jurusan Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio, asistennya Soleh  dan seorang kondektur Adung Syafei, berhenti di jalur 3 Stasiun Sudimara.  KA 225 tersebut bersilang dengan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang – Merak yang dimasinisi Amung Sunary dengan asistennya Mujiono.  Saat bersilang dan tanpa berkomunikasi dengan Stasiun Sudimara, petugas Stasiun Serpong justru memberikan sinyal aman bagi kereta api yang dimasinisi Slamet untuk jalan.  Padahal, tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran.  Hal ini dilakukan karena penuhnya jalur di Stasiun Sudimara.  Slamet pun melajukan keretanya dari Serpong dan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.45 Wib. Namun, ternyata memang penuh dengan KA.  Maka, Kepala Stasiun Sudimara pun lantas melansir perintah kepada Slamet masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu), dengan posisi di Stasiun Sudimara.  Kemudian untuk memberi peringatan kepada Masinis dan penumpang, Juru Langsir mengibarkan Bendera Merah menuju Lokomotif KA 225 dan meniup peluit Semboyan 46 tanpa membatalkan perintah persilangan yang terlanjur diberikan kepada Masinis KA 225. Masinis KA 225 mendengar Semboyan 46 Juru Langsir tersebut, tetapi ia tak dapat memastikan apakah telah ditunjukkan Semboyan 40 atau tidak (karena kondisi Lokomotif yang penuh sesak). Kemudian ia menanyakan kepada penumpang yang berdiri di luar Lokomotif, dan dijawab "telah waktunya untuk berangkat". Masinis pun membunyikan Semboyan 41, disusul Semboyan 35.  Ia tidak menyadari bahwa belum diberikan Semboyan 40 oleh PPKA St. Sudimara. Dan celakanya, ia mengira itu adalah semboyan yang telah diberikan PPKA  untuk memberangkatkan KA (berdasar jawaban penumpang), padahal itu adalah semboyan 46 untuk melangsir KA. Sang masinis pun membunyikan Semboyan 35 dan berjalan.  Juru lansir yang kaget kemudian mengejar kereta itu dan naik di gerbong paling belakang.  Para petugas stasiun kaget,  beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor. PPKA Sudimara, Djamhari,  mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil.  Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah.  Namun sia-sia.  Djamhari pun kembali ke stasiun dengan sedih,  dia membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.  KA 225 berjalan dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30km/jam.  Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang itu akhirnya bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75.  Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek.  Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat.


Korban Berjatuhan

Benturan dua kereta itu terlihat dahsyat hingga gerbong pertama persis di belakang lokomotif di kedua kereta langsung menyelimuti masing-masing lokomotifnya.  Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek.  Kedua lokomotif, yaitu tipe 303 dengan seri BB 303-17 dan tipe 306 dengan seri BB 306-17 rusak berat.  Jumlah korban jiwa 153 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.  Karena itu tidak heran bahwa semua korban tewas berada di gerbong pertama dan di lokomotif. Sesaat setelah tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan serta bau darah dari dalam rongsokan kereta.


Hukuman sang masinis

Akibat tragedi tersebut, masinis KA 225, Slamet Suradio, diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA. Nasib yang sama juga harus dialami Adung Syafei, Kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.


Peristiwa Bintaro 1987 memang sangat memilukan. Tak heran bila kemudian musisi kenamaan Indonesia, Iwan Fals, membuat sebuah lagu untuk mengenang peristiwa tersebut.   Selain itu, peristiwa ini juga sempat diangkat ke layar lebar pada tahun 1989 dengan Judul “Tragedi Bintaro”. Film ini disutradarai oleh Butje Malawau dan dibintangi oleh Lia Chaidir dan kawan-kawan serta termasuk film tersukses pada tahun tersebut.


Semboyan Kereta Api

Semboyan 35 adalah semboyan suara yang dilakukan dengan cara masinis membunyikan suling (terompet/klakson) lokomotif secara panjang untuk menjawab kepada kondektur kereta api dan PPKA bahwa kereta api sudah siap untuk diberangkatkan. Kadang juga dibunyikan pada waktu melintas di perlintasan jalan raya atau pada tempat-tempat tertentu untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat agar menyingkir dari rel kereta api.
Semboyan 40 adalah semboyan yang dilakukan dengan cara PPKA mengangkat tongkat dengan rambu berwarna hijau berbentuk bundar dengan tepi berwarna putih. Semboyan 40 mengisyaratkan bahwa status jalur yang akan dilewati dalam keadaan aman, dan kereta api diizinkan untuk berjalan. Semboyan 40 biasanya disertai dengan semboyan 41 dan disahut dengan semboyan 35 oleh masinis.
Semboyan 41 adalah semboyan yang dilakukan dengan cara kondektur kereta api membunyikan peluit panjang/suling mulut. Semboyan 41 mengisyaratkan bahwa kereta api diizinkan untuk diberangkatkan. Semboyan 41 biasanya disertai dengan semboyan 35 oleh masinis.
Semboyan 46 adalah Ketika Juru Langsir meniup peluit dan mengibaskan Bendera Merah, sebagai tanda kepada masinis dan penumpang bahwa KA akan segera dilangsir.



Sumber : 

  1.  Semboyan Kereta Api
  2.  Tragadi Bintaro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar